Start pagi jam 8.00 lewat,dari kafe Pos Kupi Langsa. Bergabung dengan peserta off road dari Peureulak di Peureulak, kemudian lanjut ke Alue Ie Mirah melalui Keude Gerobak Idi. Semuanya 15 mobil. Di Alue Ie Mirah dua mobil rusak, yang satu mobil yang saya dan suami pakai,harus tinggal di Alue Ie Mirah, dan kami memakai mobil Bapak Haji YanSafriadi ( Ketua IM - Trax)sampai ke Krueng Sijuk. Sedangkan mobil peserta yang satu lagi, berhasil diperbaiki dan dapat melanjutkan perjalanan. Dari Krueng Sijuk ke Air terjun Sijuk, saya dan suami bergabung di mobil Bapak Uyan (T.Fitriansyah).
Sambil menunggu mobil diperbaiki, beberapa diantara kami dijamu makan siang dirumah keluarga Zal anggota IM -Trax , yang kebetulan berada di sebelah bengkel.
Dalam perjalanan menuju Krueng Sijuk, tidak terlalu banyak hambatan, karena melalui jalan perkebunan kelapa sawit. Memang ada jalan yang sedang diperbaiki karena longsor. Jalannya lurus saja, dan ada satu dua yang berlobang dan berlumpur yang bisa menyebabkan mobil kepater.
Sampai di Krueng Sijuk sudah sore, sekitar jam 17.00.Sebagian peserta sudah sampai lebih dahulu. Rombongan kami disambut dek Nong yang sedang menggoreng risol dan keindahan Krueng Sijuk di sore hari.
Track dari Krueng Sijuk menuju air terjun cukup menantang, kurang lebih 22 kali menyeberangi sungai dan kurang lebih 5 kali menyusuri sungai, ada satu dua kali melintasi parit kecil. Air terjun ini berada di hutan belantara, dipedalaman Aceh Timur. Termasuk ke dalam Gampong Sijudo, kecamatan Pante Bidari. Katanya kalau melalui jalur ladang masyarakat, hanya 11 kali menyeberangi sungai.
Sementara jalan daratnya trabas hutan, becek berlumpur, berlubang, berbatu-batu besar, menanjak, menurun, penuh akar kayu yang membuat mobil seakan terlempar atau membuang, belum lagi beberapa kali harus memotong kayu yang menghalangi jalan dengan chain Saw, dan hari sudah malam. Beruntung komunitas IM - Trax membantu membawa jalan. Akhirnya kami tiba di lokasi air terjun sekitar jam 11.00 malam, setelah melalui perjalanan sekitar 5 jam untuk 17 kilometer. Mobil yang kepater. Komunitas IM -Trax membawa jalan.
Suasana di lokasi air terjun, setelah kami sampai. Kesibukan peserta off road.
Air terjun dijaga oleh sepasang suami-istri yang dipanggil kakek dan nenek, tidak ada penghuni lain. Kami beberapa orang perempuan dan anak-anak menginap dirumah nenek, sedangkan yang lain tidur ditenda atau dikemah. Tidak ada kamar mandi, semua harus ke sungai. Karena sampainya hampir tengah malam, dan tidak ada listrik, kami belum melihat indahnya air terjun, dan harus sabar menunggu sampai besok hari.
Selain rombongan kami, pada hari itu pengunjung laiinya adalah beberapa orang santri dari dayah di Aceh Timur, dan beberapa remaja pelajar yang datang dengan berjalan kaki. Mereka menyimpan sepeda motor di Krueng Sijuk dan berjalan kaki ke air terjun. Memang lokasi ini hanya dapat dicapai dengan kenderaan 4x4, dan sepeda motor trail atau berjalan kaki.
Pagi keesokan harinya ,lagi-lagi Komunitas IM -Trax memasak nasi dan lauk ikan kerling untuk kami. Para peserta off road dipagi hari, dengan kesibukan masing-masing.
Saya menemani kakek dan nenek sarapan pagi dan diberi kesempatan mencicipi kopi Sijuk, yang mereka tanam dan giling sendiri.
Menurut kakek,Sijuk itu dalam Bahasa Gayo artinya aman. Ketika jaman Belanda ,ayah kakek menemukan daerah Sijuk untuk amankan dirinya dari pihak Belanda. Sedangkan atu kapur dinamakan seperti itu karena air terjun yang mengalir ke sungai, mengandung kapur. Itulah bincang-bincang sarapan pagi dengan kakek nenek tersebut. Selesai sarapan kamipun menuju air terjun. Begitu indahnya dan sangat asri, karena tidak banyak yang datang kesini.
Dengan Zal dari IM -Trax. Setelah mandi di air terjun, kita disarankan mandi di sungai disebelahnya untuk membersihkan air berkapur. Bertemu bunga kincung ketika jalan menuju air terjun.
Setelah selesai mandi-mandi, sekitar jam 11.00 siang semua bersiap untuk pulang. Ada yang mengisi bensin.
Sesampainya di Krueng Sijuk, makan siang dan masih ada yang ingin mandi di sungai.
Air terjun yang indah ini tentu harus dijaga kelestariannya. Memang serba salah. Kalau pemerintah kabupaten Aceh Timur, membuka akses jalan, sudah pasti pengunjung akan berbondong-bondong, sehingga keasrian hutan dan air terjun akan tergerus. Tetapi kalau tidak ada upaya membuka akses jalan, maka hanya segelintir orang saja yang dapat menikmati keindahannya. Dan kalau ini menjadi objek pariwisata, akan berimbas kepada peningkatan perekonomian masyarakat setempat dan pemasukan untuk pemerintah kabupaten Aceh Timur. Di dalam perjalanan, saya ada beberapa kali melihat tumpukan kayu, berarti ada perambahan kayu hutan. Ini kalau tidak ditertibkan, maka akan mengundang bahaya, seperti banjir bandang misalnya. Semoga pemerintah kabupaten Aceh Timur, menemukan kebijakan yang baik dan tepat untuk menjaga kelestarian air terjun dan hutan sekelilingnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar